Minggu, 15 Januari 2012

KONSEPSI KESEHATAN MENTAL MENURUT ZAKIAH DARADJAT


 

A.    Pengertian Kesehatan Mental

Pemikiran Zakiah Daradjat tentang kesehatan mental dapat dilihat dari sejarah pendidikan dan pengalaman Zakiah sebagai konsultan ketika menghadapi klien atau orang-orang yang menghadapi berbagai macam problema dalam kehidupannya, termasuk para penderita penyakit atau gangguan kejiwaan. Dari sinilah dapat diketahui secara jelas pemikiran Zakiah, demikian pula dengan melihat karya-karya Zakiah  sebagai seorang psikolog.
Banyak pengertian dan definisi tentang kesehatan mental  yang diberikan oleh para ahli sesuai dengan pandangan di bidang masing-masing. Zakiah Daradjat dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar kesehatan jiwa di IAIN “Syarif Hidayatullah Jakarta” mengemukakan empat buah rumusan kesehatan jiwa yang lazim dianut para ahli. Keempat rumusan tersebut disusun mulai dari rumusan-rumusan yang khusus sampai dengan yang lebih umum.[1]
1.      Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala-gejala gangguan jiwa(neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose)
Berbagai kalangan psikiatri (kedokteran jiwa) menyambut baik definisi ini. Seseorang dikatakan bermental sehat bila terhindar dari gangguan atau penyakit jiwa, yaitu adanya perasaan cemas tanpa diketahui sebabnya, malas, hilangnya kegairahan bekerja pada diri seseorang dan bila gejala ini meningkat akan menyebabkan penyakit anxiety, neurasthenia dan  hysteria. Adapun orang yang sakit jiwa biasanya akan memiliki pandangan berbeda dengan orang lain inilah yang dikenal dengan orang gila.
2.      Kesehatan mental adalah: kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat sera lingkungan tempat ia hidup.
Definisi ini lebih luas dan bersifat umum  karena berhubungan dengan kehidupan manusia pada umumnya. Menurut definisi ini seseorang dikatakan bermental sehat bila dia menguasai dirinya sehingga terhindar dari tekanan-tekanan perasaan atau hal-hal yang menyebabkan frustasi. Orang yang mampu menyesuaikan diri akan merasakan kebahagiaan dalam hidup karena tidak diliputi dengan perasaan-perasaan cemas, gelisah, dan ketidakpuasan. Sebaliknya akan memiliki semangat yang tinggi dalam menjalani hidupnya. Untuk dapat menyesuaikan diri dengan diri sendiri, harus lebih dahulu mengenal diri sendiri, menerima apa adanya, bertindak sesuai kemampuan dan kekurangan. Ini bukan berarti  harus mengabaikan orang lain.
Dalam definisi ini orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dapat menguasai segala faktor dalam hidupnya, sehingga dapat menghindarkan diri dari tekanan-tekanan perasaan yang menimbulkan frustasi.
3.       Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan-gangguan dan penyakit jiwa.
Definisi ini lebih menekankan pada pengembangan dan pemanfaatan segala daya  dan pembawaan yang dibawa  sejak lahir, sehingga benar-benar membawa manfaat bagi orang lain dan dirinya sendiri.
Dalam hal ini seseorang harus mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya dan jangan sampai ada bakat yang  tidak baik untuk tumbuh yang akan membawanya pada ketidakbahagiaan hidup, kegelisahan, dan pertentangan batin. Seseorang yang mengembangkan potensi yang ada untuk merugikan orang lain, mengurangi hak, ataupun menyakitinya, tidak dapat dikatakan memiliki mental yang sehat. Karena memanfaatkan potensi yang ada dalam dirinya untuk mengorbankan hak orang lain.
4.      Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa, serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara positif  kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Seseorang dikatakan memiliki mental sehat apabila terhindar dari gejala
. penyakit jiwa dengan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya. Kecemasan dan kegelisahan dalam diri seseorang lenyap bila fungsi jiwa di dalam dirinya seperti fikiran, perasaan, sikap, jiwa, pandangan, dan keyakinan hidup berjalan seiring sehingga menyebabkan adanya keharmonisan dalam dirinya.
Keharmonisan antara fungsi jiwa dan tindakan dapat dicapai antara lain dengan  menjalankan ajaran agama dan berusaha menerapkan norma-norma sosial, hukum, dan moral. Dengan demikian akan tercipta ketenangan batin yang menyebabkan timbulnya kebahagiaan di dalam dirinya. Definisi ini menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti fikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan, harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga menciptakan keharmonisan hidup, yang menjauhkan orang dari sifat ragu- ragu dan bimbang, serta terhindar dari rasa gelisah dan konflik batin.
Dapatlah dikatakan bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada semaksimal mungkin dan membawanya pada kebahagiaan bersama, serta tercapainya keharmonisan jiwa dalam hidup. Ada beberapa definisi penting yang perlu di jelaskan dalam konsep kesehatan mental Zakiah Daradjat.
a.       Pengertian mengenai terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan ialah berkembangnya seluruh potensi kejiwaan secara seimbang sehingga manusia dapat mencapai kesehatannya secara lahiriah maupun batiniah serta terhindar dari pertentangan batin keguncangan, kebimbangan, dan perasaan dalam menghadapi berbagai dorongan dan keinginan.
b.      Pengertian terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri ialah usaha untuk menyesuaikan diri secara sehat terhadap diri sendiri yang mencakup pembangunan dan pengembangan seluruh potensi dan daya yang terdapat dalam diri manusia serta tingkat kemampuan memanfaatkan potensi dan daya seoptimal mungkin sehingga penyesuaian diri membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi diri sendiri maupun orang lain.
c.       Pengertian tentang penyesuaian diri yang sehat terhadap lingkungan  dan masyarakat merupakan tuntunan untuk meningkatkan keadaan  masyarakatnya dan dirinya sendiri sebagai anggotanya. Artinya, manusia tidak hanya memenuhi tuntutan masyarakat dan mengadakan perbaikan di dalamnya tetapi juga dapat membangun dan mengembangkan dirinya sendiri secara serasi dalam masyarakat. Hal ini hanya bisa dicapai  apabila masing-masing  individu dalam masyarakat sama-sama berusaha meningkatkan diri secara terus menerus  dalam batas-batas yang diridhoi Allah.
d.      Pengertian berlandaskan  keimanan dan ketakwaan adalah masalah keserasian yang sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi kejiwaan dan penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya hanya dapat terwujud  secara baik dan sempurna apabila usaha ini didasarkan atas keimanan  dan ketakwaan kepada Allah SWT.  Dengan demikian, faktor agama memainkan peranan yang besar dalam pengertian kesehatan mental.
e.       Pengertian bertujuan untuk mencapai kehidupan yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat  adalah kesehatan mental bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sejahtera, dan bahagia bagi manusia secara lahir dan batin baik jasmani maupun rohani, serta dunia dan akhirat[2]

B.     Pengaruh Kesehatan Mental dalam Hidup

Cara menentukan  pengaruh mental  tidak mudah, karena mental tidak dapat dilihat, diraba atau diukur secara langsung. Manusia hanya dapat melihat bekasnya dalam sikap, tindakan, cara menghadapi persoalan, dan akhlak. Oleh ahli jiwa dikatakan bahwa pengaruh mental itu dapat dilihat pada perasaan, pikiran, kelakuan, dan kesehatan.
1.      Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Perasaan
Pengaruh kesehatan mental terhadap perasaan akan terlihat dari cara orang menghadapi kehidupan ini. Misalnya ada orang yang  menghadapinya dengan kecemasan dan ketakutan. Banyak hal-hal kecil yang mencemaskannya, kadang-kadang hal remeh, yang oleh orang lain tidak dirasakan berat,  akan tetapi bagi dirinya hal  itu sudah  sangat berat sehingga menyebabkannya gelisah, tidak bisa tidur, dan hilang nafsu makan.  Mereka sendiri tidak mengerti dan tidak dapat menahan atau mengatasi kecemasannya. Inilah yang dalam istilah  kesehatan mental dinamakan anxiety dan phobia atau takut yang tidak pada tempatnya.[3]  Jadi di antara gangguan  perasaan yang disebabkan oleh terganggunya kesehatan mental adalah rasa cemas (gelisah), iri hati, sedih, merasa rendah diri, pemarah, dan  ragu (bimbang).
2.      Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Pikiran
Di antara masalah yang sering menggelisahkan orang tua, adalah menurunnya  kecerdasan dan kemampuan anaknya dalam pelajaran atau semangat belajarnya menurun, jadi pelupa, dan tidak sanggup memusatkan perhatian.[4]
Mengenai pengaruh kesehatan mental atas pikiran, memang besar sekali. Di antara gejala yang bisa dilihat yaitu sering lupa, tidak bisa mengkonsentrasikan pikiran tentang sesuatu hal yang penting, kemampuan berfikir menurun, sehingga merasa seolah-olah tidak lagi cerdas, pikirannya tidak bisa digunakan, kelemahan dalam bertindak, lesu, malas, tidak bersemangat kurang inisiatif, dan mudah terpengaruh oleh kritikan-kritikan orang lain, sehingga mudah meninggalkan rencana baik yang telah dibuatnya hanya karena kritikan orang lain. Semuanya itu bukanlah suatu sifat yang datang tiba-tiba dan dapat diubah dengan nasehat dan teguran saja, akan tetapi telah masuk terjalin ke dalam pribadinya yang tumbuh sejak kecil.
3.      Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Kelakuan
Ketidaktentraman hati, atau kurang sehatnya mental, sangat mempengaruhi kelakuan dan tindakan seseorang, seperti nakal, pendusta, menganiaya diri sendiri atau orang lain, menyakiti  badan orang atau hatinya dan berbagai kelakuan menyimpang lainnya.  
4.      Pengaruh Kesehatan Mental terhadap Kesehatan Badan
Di antara masalah yang banyak terjadi dalam masyarakat maju, adalah adanya kontradiksi yang tidak mudah dimengerti yaitu masalah kesehatan. Kalau pada masa dahulu, penyakit dan bahaya yang sangat mencemaskan orang adalah penyakit menular dan penyakit-penyakit yang mudah menyerang.  Penyakit-penyakit tersebut dapat diatasi dengan obat-obatan  dan cara-cara pencegahan yang ditemukan para ahli. Akan tetapi, pada masyarakat maju telah timbul suatu penyakit  yang lebih berbahaya dan sangat menegangkan  yaitu penyakit gelisah, cemas, dan berbagai penyakit  yang tidak dapat diobati oleh ahli-ahli kedokteran. Karena penyakit itu timbul  bukan karena kekurangan pemeliharaan kesehatan atau kebersihan akan tetapi karena kehilangan ketenangan jiwa.[5]

C.    Ciri-ciri Manusia yang Sehat Mentalnya

1.      Ciri Manusia yang Sehat Mentalnya
Orang yang sehat mentalnya adalah orang-orang yang mampu merasakan kebahagian dalam hidup, karena orang-orang inilah yang dapat merasa bahwa dirinya berguna, berharga dan mampu menggunakan segala potensi dan bakatnya semaksimal mungkin, yang membawa kebahagiaan bagi  dirinya sendiri dan orang lain. Di samping itu, ia mampu menyesuaikan diri dalam arti yang luas (dengan dirinya, orang lain, dan suasana sekitar). Orang-orang inilah yang terhindar dari kegelisahan dan gangguan jiwa, serta tetap terpelihara moralnya.
Maka orang yang sehat mentalnya, tidak akan merasa ambisius, sombong, rendah diri dan apatis, tapi ia adalah wajar, menghargai orang lain, merasa percaya kepada diri sendiri dan selalu gesit. Setiap tindak dan tingkah lakunya, ditunjukkan untuk mencari kebahagiaan bersama, bukan kesenangan dirinya sendiri. Kepandaian dan pengetahuan yang dimilikinya digunakan untuk  kemanfaatan dan kebahagiaan bersama. Kekayaan dan kekuasaan yang ada padanya, bukan untuk bermegah-megahaan dan mencari kesenangan diri sendiri, tanpa mengindahkan orang lain, akan tetapi digunakannya untuk menolong orang yang miskin dan melindungi orang yang lemah. Seandainya semua orang sehat mentalnya, tidak akan ada penipuan, penyelewengan, pemerasan, pertentangan dan perkelahian dalam masyarakat, karena mereka menginginkan dan mengusahakan semua orang dapat merasakan kebahagiaan, aman tentram, saling mencintai dan tolong-menolong.
2.      Manusia  yang Kurang Sehat Mentalnya
Manusia  yang kurang sehat ini sangat luas, mulai dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya. Dari orang yang merasa terganggu ketentraman batinnya, sampai kepada orang yang sakit jiwa. Gejala yang umum, yang tergolong kepada yang kurang sehat dapat dilihat dalam beberapa segi antara lain pada:
Perasaan        :   Yaitu perasaan terganggu, tidak tenteram, rasa gelisah, tidak tentu yang digelisahkan, tapi tidak bisa pula mengatasinya (anxiety); rasa takut yang tidak masuk akal atau tidak jelas yang ditakuti itu apa (phobi), rasa iri, rasa sedih, sombong, suka bergantung kepada orang lain, tidak mau bertanggung jawab, dan sebagainya.
Pikiran           :   Gangguan terhadap kesehatan mental, dapat pula mempengaruhi pikiran, misalnya anak-anak menjadi bodoh di sekolah, pemalas, pelupa, suka bolos, tidak bisa konsentrasi, dan sebagainya. Demikian pula orang dewasa mungkin merasa bahwa kecerdasannya telah merosot, ia merasa bahwa kurang mampu melanjutkan sesuatu yang telah direncanakannya baik-baik, mudah dipengaruhi orang, menjadi pemalas, apatis, dan sebagainya.
Kelakuan       :   Pada umumnya kelakuan-kelakuan yang tidak  baik seperti kenakalan, keras kepala, suka berdusta, menipu, menyeleweng, mencuri, menyiksa orang, membunuh, dan merampok, yang menyebabkan orang lain menderita dan teraniaya haknya
Kesehatan     :   Jasmani dapat terganggu bukan karena adanya penyakit yang betul-betul mengenai jasmani itu, akan tetapi rasanya sakit, akibat jiwa tidak tenteram, penyakit yang seperti ini disebut psychosomatic. Di antara gejala penyakit ini yang sering terjadi seperti sakit kepala, merasa lemas, letih, sering masuk angin, susah nafas, sering pingsan, bahkan sampai sakit yang lebih berat, lumpuh sebagian anggota jasmani, kelu lidah  saat bercerita, dan  tidak bisa melihat (buta) yang terpenting adalah  penyakit jasmani itu tidak  mempunyai sebab-sebab fisik sama sekali.[6]
Inilah gejala-gejala kurang sehat yang agak ringan, dan lebih berat dari itu, mungkin menjadi gangguan jiwa (neourose) dan terberat adalah sakit jiwa (psychose).
3.      Syarat-syarat yang Diperlukan dalam  Pembangunan Mental
Di antara syarat-syarat terpenting dalam pembangunan mental adalah:
a.       Pendidikan.
Pendidikan yang dimulai dari rumah tangga, dilanjutkan di sekolah, dan  juga dalam masyarakat. Pembangunan mental, mulai sejak anak lahir, di mana semua pengalaman yang dilaluinya mulai lahir, sampai mencapai usia dewasa (21 tahun), menjadi bahan dalam pembinaan mentalnya. Maka syarat-syarat yang diperlukan, dalam pendidikan baik di rumah, sekolah maupun masyarakat ialah kebutuhan-kebutuhan pokoknya harus terjamin, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan psikis dan sosial. Di mana harus terjamin makan minum yang cukup memenuhi syarat kesehatan untuk pertumbuhannya di rumah, sekolah dan masyarakat, maka anak-anak itu harus:
1)      Merasa disayangi oleh ibu-bapak, guru, dan kawan-kawannya. Anak yang merasa kurang disayangi, atau kurang diperhatikan kepentingan dan kebutuhannya, akan merasa hidup menderita. Apabila ia merasa tidak disayangi, terutama waktu kecil ia tidak akan pernah merasa kasih sayang kepada orang lain dan tidak akan merasakan kesayangan orang kepadanya di kemudian hari, ia akan cenderung kepada perasaan sedih, murung, menyendiri dan benci kepada masyarakat atau orang di sekitarnya. Emosinya mungkin tidak matang.
2)      Merasa aman, tentram, di mana ia tidak sering dimarahi, dihina, diperlakukan tidak adil, diancam, orang-orang yang berkuasa di sekelilingnya tidak sering bertengkar, kebutuhannya yang pokok terpenuhi (keadaan ekonomi yang sangat kurang ikut mempengaruhi mental anak apabila ia berada dalam kelompok orang-orang yang mampu) dan lain-lain, yang menyebabkannya tidak aman.
3)      Merasa bahwa ia dihargai, misalnya kalau ia berbicara atau bertanya didengar dan dijawab seperlunya, jika ia bersalah, ditegur atau dimarahi tidak di hadapan kawan-kawannya, ia tidak merasa diejek, diremehkan, dibandingkan dengan yang lain, dan sebagainya.
4)      Merasa bebas, tidak terlalu diikat oleh peraturan-peraturan dan disiplin yang terlalu keras, ia bebas memilih teman (dalam batas yang tidak merusak), bebas memilih pakaian yang disukainya (dalam batas yang tidak melanggar susila), dan bebas membelanjakan uang jajannya, dan sebagainya.
5)      Merasa sukses, sejak kecil orangtua harus mendidik dan mengajar anak sesuai dengan kemampuan bakat dan pertumbuhannya, jangan sampai anak merasa bahwa terlalu jauh yang harus dijangkaunya, atau terlalu berat yang harus diusahakannya. Karena kalau anak merasa tidak mampu melaksanakan sesuatu yang diharapkan darinya, ia akan merasa gagal. Kegagalan-kegagalan itu akan membawa pada tekanan jiwa dan menimbulkan frustasi, yang akhirnya mungkin menyebabkan hilangnya kepercayaan kepada diri sendiri.
6)      Kebutuhannya untuk mengetahui harus dapat terpenuhi, pertanyaannya dijawab, kepadanya diberi kesempatan untuk dapat mengenal sesuatu yang diinginkannya. 
b.      Pembinaan Moral
Pembinaan moral harus dilakukan sejak kecil, sesuai dengan umurnya. Karena setiap anak dilahirkan belum mengerti mana yang benar mana yang salah dan belum tahu batas-batas atau ketentuan-ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Pendidikan moral harus dilakukan pada permulaan di rumah dengan latihan terhadap tindakan-tindakan yang dipandang baik menurut ukuran-ukuran lingkungan tempat ia hidup. Setelah anak terbiasa bertindak sesuai dengan yang dikehendaki oleh aturan-aturan moral, serta kecerdasan dalam  kematangan berfikir telah terjadi, barulah pengertian-pengertian yang abstrak diajarkan.
Pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama. Maka pendidikan agama yang mengandung nilai-nilai moral, perlu dilaksanakan sejak anak lahir (di rumah), sampai duduk di bangku sekolah dan dalam lingkungan masyarakat tempat ia hidup.
c.       Pembinaan Jiwa Taqwa
Jika menginginkan anak-anak dan generasi yang akan datang hidup bahagia, tolong-menolong, jujur, benar dan adil, maka mau tidak mau, penanaman jiwa taqwa perlu sejak kecil. Karena kepribadian (mental) yang  unsur-unsurnya terdiri dari antara lain keyakinan beragama, maka dengan sendirinya keyakinan itu akan dapat mengendalikan kelakuan, tindakan dan sikap dalam hidup. Karena mental sehat yang penuh dengan keyakinan beragama itulah yang menjadi polisi, pengawas dari segala tindakan.
Jika setiap orang mempunyai keyakinan beragama, dan menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu ada polisi dalam masyarakat karena setiap orang tidak mau melanggar larangan-larangan agama karena merasa bahwa Tuhan Maha Melihat dan selanjutnya masyarakat adil makmur akan tercipta, karena semua potensi manusia (man power) dapat digunakan dan dikerahkan untuk dirinya sendiri.
Pembangunan mental tak mungkin tanpa menanamkan jiwa agama pada tiap-tiap orang. Karena agamalah yang memberikan nilai-nilai yang dipatuhi dengan suka rela, tanpa adanya paksaan dari luar atau polisi yang mengawasi atau mengontrolnya. Karena setiap kali terpikir atau tertarik hatinya kepada hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agamanya, taqwanya akan menjaga dan menahan dirinya dari kemungkinan jatuh kepada perbuatan-perbuatan yang kurang baik itu.[7]
Mental yang sehat ialah yang iman dan taqwa kepada Allah S.W.T, dan mental yang beginilah yang akan membawa perbaikan hidup dalam masyarakat dan bangsa.
Taqwa dan iman sama pentingnya dalam kesehatan mental, fungsi iman dalam kesehatan mental adalah menciptakan rasa aman tentram, yang ditanamkan sejak kecil. Obyek keimanan yang tidak akan berubah manfaatnya dan ditentukan oleh agama. Dalam agama Islam, terkenal enam macam pokok keimanan (arkanul iman). Semuanya mempunyai fungsi yang menetukan dalam kesehatan mental seseorang.[8]


[1] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan  Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.  132
[2] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental dalam Pendidikan dan Pengajaran, Pidato Pengukuhan Guru Besar  Tetap di IAIN Sarif Hidayatullah, (Jakarta: 1984), hlm. 4-7.
[3] Zakiah Daradjat,  Pembinaan Jiwa atau Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 8

[4] Ibid,... hlm 10
[5] Zakiah Daradjat, Pembinaan...., hlm. 12
[6]Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental,(Jakarta: Bulan Bintang 1970),hlm. 39-42
[7] Ibid., hlm. 42-46

[8] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), hlm. 13-14.

MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN DINAMIKA PEMIKIRAN SERTA GERAKAN ISLAM DI INDONESIA



Oleh : Drs. H. Ahmad Hakim, MA., Ph.D.


I.              PENDAHULUAN
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga keagamaan yang dipercaya oleh masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Dalam banyak hal yang bersifat keagamaan, masyarkat dan Pemerintah bergantung kepadanya untuk mendapatkan penjelasan dan keputusan. Untuk itu menarik untuk dikaji apa yang di tentang pemikiran dan gerakan Islam.
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk menelusuri fatwa-fatwa MUI terkait corak pemikiran dan gagasan tentang gerakan yang pernah diputuskan selama ini. Sebelum itu akan dijelaskan pula siapakah orang-orang yang tergabung dalam MUI. Sumber tulisan ini adalah buku kumpulan fatwa MUI yang saat ini selain ada dalam bentuk cetak juga dalam bentu CD.

II.            SIAPA MAJELIS ULAMA
Peran MUI semakin tampak ketika kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh aspek kehidupan. Karena kemjuan tersebut di samping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, ia menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara ini semakin tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan jawaban yang tepat dari pandangan ajaran Islam.Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingunan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan berupaya menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan dengan persoalan yang mereka hadapi.
Demikian juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah seharusnya segera dapat diatasi. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT :

“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat” (QS. al-Baqarah [2]: 159).

Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah lembaga paling berkompeten bagi pemecahan dan menjawab setiap masalah sosial keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut di atas, sudah sewajarnya bila MUI sesuai dengan amanat Musyawarah Nasional VI tahun 2000 lalu, senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas peran dan kinerjanya, terutama dalam memberikan solusi dan jawaban keagamaan terhadap setiap permasalahan yang kiranya dapat memenuhi harapan masyarakat yang semakin kritis dan tinggi kesadaran keberagamaannya.

III.           PEMIKIRAN KEAGAMAAN
Jika MUI itu merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia, bagaimana corak pemikiran keagamaannya. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dibaca pada fatwa MUI tentang pluralisme, sekularisme, dan liberlisme.
Dalam fatwa ini, yang dimaksud oleh MUI dengan :
1. Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
2. Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3.   Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
4. Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.

MUI berendapat bahwa :
1.   Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama  dari keputusan fatwa ini adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
2.   Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama.
3.   Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4.   Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan.

IV.          PEMIKIRAN YANG KOMPREHENSIF
Lalu pemikiran seperti apa yang diikuti oleh MUI? Tampaknya model pemikiran yang diikuti oleh MUI adalah pemikiran yang komprehensif dan itu seperti model pemikiran dalam penentuan fatwa. Bahwa Dasar penentuan dan sifat aktivitas fatwa adalah :
1.   Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an, sunnah (hadits), ijma’, dan qiyas serta dalil lain yang u’tabar.
2.   Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Komisi Fatwa.
3.   Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif.
Sedangkan metode penetuan fatwa oleh MUI adalah sebagai berkut :
a.   Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya.
b.   Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan sebagaimana adanya.
c.   Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab, maka :
1) Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat ulama mazhab melalui metode al-jam’u wa al-taufiq.
2)   Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui  metode muqaranah dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaran.
d.   Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad  jama’i (kolektif) melalui metode bayani, ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan sadd al-zari’ah.
e. Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ammah) dan maqashid al-syari’ah.

V.           GERAKAN ISLAM
Akhir-akhir iini sering muncul gerakan yang mengatasnamakan jihad Islam tapi bentukya membuat orang lain takut atau bahkan merusak. Oleh karena itu MUI perlu membuat penejelasan tentang perbedaan antara teror dan Jihad. 
1.   Pengertian Terorisme dan Perbedaannya dengan Jihad
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai pengertian terorisme, namun secara umum dapat dipahami bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme  adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Dalam khazanah fiqih Islam, terorisme memenuhi unsur tindak pidana (jarimah/hirabah). Para fuqaha mendefinisikan al-muharib dengan istilah : “Orang yang mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka maka dia tidak termasuk golongan kami”.
Jihad mengandung dua pengertian :
a.   Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
b.   Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan  untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li i’laai kalimatillah).
2.   Perbedaan antara Terorisme dengan Jihad
a.   Terorisme :
1). Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos (faudha).
2).  Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain. Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.
 b.   Jihad :
1).  Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan.
2).  Tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzholimi.
3).  Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
3.   Hukum Melakukan Teror Dan Jihad
a.   Hukum melakukan teror adalah Haram, baik dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara.
b.   Hukum melakukan Jihad adalah Wajib.
4.   Bom bunuh diri dan Amaliyah al-Istisyhad
a.   Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyah al-istisyhad mempersembahkan dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan pelaku amaliyah al-Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari rahmat dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b.   Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (daar al-shulh/daar al-salaam/daar alda’wah) maupun di daerah perang (daar al-harb).
c.   Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan) dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan di daerah perang (daar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan terbunuhnya diri sendiri. Amaliyah al-Istisyhad berbeda dengan bunuh diri.

VI.          BENTUK NEGARA
Hal-hal yang mendorong gerakan teroris dan menakuti atau merusak adalah pandangan dan kedudukan Negara Republik Indenesia (NKRI). MUI mearasa perlu untuk menjelaskan kepada umat tentang eksistensi negara Republik Indonesia. MUI menjelaskan :
1.   Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai ikhtiyar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan bersama, adalah mengikat seluruh elemen bangsa.
2.   Pendirian NKRI adalah upaya final bangsa Indonesia untuk mendirikan negara di wilayah ini.
3.   Wilayah NKRI dihuni oleh penduduk yang sebagian besar beragama Islam, maka umat Islam wajib memelihara keutuhan NKRI dan menjaga dari segala bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) oleh siapapun dengan alasan apapun.
4.   Dalam rangka menghindarkan adanya pengkhianatan dan/atau pemisahan diri (separatisme) negara wajib melakukan upaya-upaya nyata untuk menciptakan rasa adil dan aman.
5. Bahwa umat Islam memerlukan penyamaan manhaj al fikr dan penyatuan langkan gerakan (harakah) agar keikutsertaan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat memberikan andil yang maknawi dalam menciptakan kebersamaan perjuangan menuju masyarakat yang berkeadilan dan diridlai oleh Allah SWT sejahtera secara merata serta penyadaran terhadap elemen-elemen yang cenderung melakukan tindakan pengkhianatan dan/atau separatisme.
6.   Upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia dan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah, dalam pandangan Islam termasuk bughat. Sedangkan bughat adalah haram hukumnya dan wajib diperangi oleh negara.
7. Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang melibatkan diri, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, dalam aktifitasnya yang mengarah pada tindakan pemisahan diri (separatisme) dari NKRI adalah termasuk bughat.
MUI juga mengajukan gagasan agar tidak ada benturan antara Islam dan kebangsaan. Hal ini ditempuh dengan mengajukan pemahaman sebagai berkut :
a.   Ajaran Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu adalah suatu kebenaran mutlak yang mengandung tuntunan kebajikan yang bersifat universal dan meliputi seluruh aspek kehidupan.
b. Ajaran Islam sebagai tuntunan yang bersifat universal, memandang dan menempatkan manusia dalam harkat martabat yang sangat mulia. Oleh karena itu Islam menjunjung tinggi nilai-nilai yang memuliakan hak-hak dasar kemanusiaan yang luhur seperti kemerdekaan (al-hurriyah), persamaan (al-musawah), keadilan (al-’adalah/al-qisth), dan kedamaian (al-silm).
c.   Nilai-nilai yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi yang sesuai dengan ajaran Islam dan membawa kabajikan dapat diterima sebagai nilai universal Islam, karena Islam menganggap setiap kebaikan yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dapat diterima sebagai sebuah kebajikan.
d.   Nilai-nilai yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi yang bertentangan dengan ajaran Islam dan mendatangkan kerusakan (mafsadat) bagi kehidupan harus ditolak.
e.   Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaedah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan.

VII.         PENUTUP
Untuk menciptakan pemikiran dan gerakan Islam yang harmoni dengan kebangsaan dan menghindari konflik antar sesama anak bangsa, ada bebera cara yang perlu diperhatikan. MUI menyatakan :
1.   Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam merupakan suatu yang wajar, sebagai konsekwensi dari pranata “ijtihad” yang memungkinkan terjadinya perbedaan.
2.   Sikap yang merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling benar serta cenderung menyalahkan pendapat lain dan menolak dialog, merupakan sikap yang bertentangan dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) dan sikap tersebut merupakan ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling permusuhan (al-’adawah), pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq).
3.   Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam harus tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dlawabith).
4.   Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan). Sedangkan perbedaan yang berada di luar majal al-ikhtilaf tidak dikategorikan sebagai perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan; seperti munculnya perbedaan terhadap masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al-din bi aldlarurah).
5.   Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal al-ikhtilaf sebaiknya diupayakan dengan jalan mencari titik temu untuk keluar dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin menemukan persamaan.
6.   Majal al-ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ma ana alaihi wa ashhaby, yaitu faham keagamaan ahlus-sunnah wal jamaah dalam pengertian yang luas.