Oleh : Drs. H. Ahmad Hakim, MA., Ph.D.
I.
PENDAHULUAN
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga keagamaan yang dipercaya oleh
masyarakat dan Pemerintah Indonesia. Dalam banyak hal yang bersifat keagamaan,
masyarkat dan Pemerintah bergantung kepadanya untuk mendapatkan penjelasan dan
keputusan. Untuk itu menarik untuk dikaji apa yang di tentang pemikiran dan
gerakan Islam.
Tulisan
singkat ini dimaksudkan untuk menelusuri fatwa-fatwa MUI terkait corak
pemikiran dan gagasan tentang gerakan yang pernah diputuskan selama ini.
Sebelum itu akan dijelaskan pula siapakah orang-orang yang tergabung dalam MUI.
Sumber tulisan ini adalah buku kumpulan fatwa MUI yang saat ini selain ada
dalam bentuk cetak juga dalam bentu CD.
II.
SIAPA
MAJELIS ULAMA
Peran
MUI semakin tampak ketika kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan
yang telah menyentuh seluruh aspek kehidupan. Karena kemjuan tersebut di
samping membawa berbagai kemudahan dan kebahagiaan, ia menimbulkan sejumlah
perilaku dan persoalan-persoalan baru. Cukup banyak persoalan yang beberapa
waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah terbayangkan, kini hal itu
menjadi kenyataan.
Di
sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara ini semakin
tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika
setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan jawaban yang tepat dari
pandangan ajaran Islam.Telah menjadi kesadaran bersama bahwa membiarkan
persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam kebingunan tidak dapat
dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara syar’i. Oleh
karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera mampu memberikan jawaban dan
berupaya menghilangkan kehausan umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan
dengan persoalan yang mereka hadapi.
Demikian
juga, segala hal yang dapat menghambat proses pemberian jawaban (fatwa) sudah
seharusnya segera dapat diatasi. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah SWT :
“Sesungguhnya orang
yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam
al-Kitab, mereka dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang
dapat melaknat” (QS. al-Baqarah [2]: 159).
Majelis
Ulama Indonesia (MUI), yang merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan
cendekiawan muslim serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia adalah
lembaga paling berkompeten bagi pemecahan dan menjawab setiap masalah sosial
keagamaan yang senantiasa timbul dan dihadapi masyarakat serta telah mendapat
kepercayaan penuh, baik dari masyarakat maupun dari pemerintah. Sejalan dengan
hal tersebut di atas, sudah sewajarnya bila MUI sesuai dengan amanat Musyawarah
Nasional VI tahun 2000 lalu, senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas
peran dan kinerjanya, terutama dalam memberikan solusi dan jawaban keagamaan
terhadap setiap permasalahan yang kiranya dapat memenuhi harapan masyarakat
yang semakin kritis dan tinggi kesadaran keberagamaannya.
III.
PEMIKIRAN
KEAGAMAAN
Jika
MUI itu merupakan wadah musyawarah para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim
serta menjadi pengayom bagi seluruh muslim Indonesia, bagaimana corak pemikiran
keagamaannya. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dibaca pada fatwa MUI tentang
pluralisme, sekularisme, dan liberlisme.
Dalam
fatwa ini, yang dimaksud oleh MUI dengan :
1.
Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah
sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu,
setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar
sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua
pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.
2.
Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu
terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.
3. Liberalisme agama adalah memahami nash-nash
agama (Al-Qur’an & Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas; dan
hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.
4.
Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya
digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan
sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial.
MUI
berendapat bahwa :
1. Pluralisme, sekularisme, dan liberalisme agama
sebagaimana dimaksud pada bagian pertama
dari keputusan fatwa ini adalah paham yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam.
2. Umat Islam haram mengikuti paham pluralisme,
sekularisme, dan liberalisme agama.
3. Dalam masalah aqidah dan ibadah, umat Islam
wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah
umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain.
4. Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama
pemeluk agama lain (pluralitas agama), dalam masalah sosial yang tidak
berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti
tetap melakukan pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak
saling merugikan.
IV.
PEMIKIRAN
YANG KOMPREHENSIF
Lalu
pemikiran seperti apa yang diikuti oleh MUI? Tampaknya model pemikiran yang
diikuti oleh MUI adalah pemikiran yang komprehensif dan itu seperti model
pemikiran dalam penentuan fatwa. Bahwa Dasar penentuan dan sifat aktivitas
fatwa adalah :
1. Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur’an,
sunnah (hadits), ijma’, dan qiyas serta dalil lain yang u’tabar.
2. Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara
kolektif oleh suatu lembaga yang dinamakan Komisi Fatwa.
3. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif,
dan antisipatif.
Sedangkan
metode penetuan fatwa oleh MUI adalah sebagai berkut :
a. Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau
lebih dahulu pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar tentang
masalah yang akan difatwakan tersebut, secara seksama berikut dalil-dalilnya.
b. Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah
disampaikan sebagaimana adanya.
c. Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di
kalangan mazhab, maka :
1)
Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara
pendapat-pendapat ulama mazhab melalui metode al-jam’u wa al-taufiq.
2)
Jika usaha penemuan titik temu tidak
berhasil dilakukan, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui metode muqaranah dengan menggunakan
kaidah-kaidah Ushul Fiqh Muqaran.
d. Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat
hukumnya di kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil ijtihad jama’i (kolektif) melalui metode bayani,
ta’lili (qiyasi, istihsani, ilhaqi), istishlahi,
dan sadd al-zari’ah.
e.
Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah)
dan maqashid al-syari’ah.
V.
GERAKAN
ISLAM
Akhir-akhir
iini sering muncul gerakan yang mengatasnamakan jihad Islam tapi bentukya
membuat orang lain takut atau bahkan merusak. Oleh karena itu MUI perlu membuat
penejelasan tentang perbedaan antara teror dan Jihad.
1. Pengertian Terorisme dan Perbedaannya
dengan Jihad
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai
pengertian terorisme, namun secara umum dapat dipahami bahwa terorisme
merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman
serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia
serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang
diorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan
digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang
tidak membeda-bedakan sasaran (indiskrimatif). Dalam khazanah fiqih Islam,
terorisme memenuhi unsur tindak pidana (jarimah/hirabah). Para
fuqaha mendefinisikan al-muharib dengan istilah : “Orang yang
mengangkat senjata melawan orang banyak dan menakut-nakuti mereka maka dia
tidak termasuk golongan kami”.
Jihad mengandung dua
pengertian :
a. Segala usaha dan upaya sekuat tenaga serta kesediaan untuk
menanggung kesulitan di dalam memerangi dan menahan agresi musuh dalam segala
bentuknya. Jihad dalam pengertian ini juga disebut al-qital atau al-harb.
b. Segala upaya yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan untuk menjaga dan meninggikan agama Allah (li
i’laai kalimatillah).
2. Perbedaan antara Terorisme dengan Jihad
a. Terorisme :
1). Sifatnya merusak (ifsad) dan anarkhis/chaos
(faudha).
2). Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak
lain. Dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas.
b. Jihad :
1). Sifatnya melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara
peperangan.
2). Tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak
yang terzholimi.
3). Dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at
dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
3. Hukum Melakukan Teror Dan Jihad
a. Hukum melakukan teror adalah Haram, baik dilakukan oleh perorangan,
kelompok, maupun negara.
b. Hukum melakukan Jihad adalah Wajib.
4. Bom bunuh diri dan Amaliyah al-Istisyhad
a. Orang yang bunuh diri itu membunuh dirinya untuk kepentingan
pribadinya sendiri sementara pelaku amaliyah al-istisyhad mempersembahkan
dirinya sebagai korban demi agama dan umatnya. Orang yang bunuh diri adalah
orang yang pesimis atas dirinya dan atas ketentuan Allah sedangkan pelaku amaliyah
al-Istisyhad adalah manusia yang seluruh cita-citanya tertuju untuk mencari
rahmat dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
b. Bom bunuh diri hukumnya haram karena merupakan salah satu bentuk
tindakan keputusasaan (al-ya’su) dan mencelakakan diri sendiri (ihlak
an-nafs), baik dilakukan di daerah damai (daar al-shulh/daar
al-salaam/daar alda’wah) maupun di daerah perang (daar al-harb).
c. Amaliyah al-Istisyhad (tindakan mencari kesyahidan)
dibolehkan karena merupakan bagian dari jihad bin-nafsi yang dilakukan
di daerah perang (daar al-harb) atau dalam keadaan perang dengan tujuan
untuk menimbulkan rasa takut (irhab) dan kerugian yang lebih besar di
pihak musuh Islam, termasuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
terbunuhnya diri sendiri. Amaliyah al-Istisyhad berbeda dengan bunuh
diri.
VI.
BENTUK
NEGARA
Hal-hal yang mendorong gerakan
teroris dan menakuti atau merusak adalah pandangan dan kedudukan Negara
Republik Indenesia (NKRI). MUI mearasa perlu untuk menjelaskan kepada umat
tentang eksistensi negara Republik Indonesia. MUI menjelaskan :
1. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagai ikhtiyar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur
kesejahteraan kehidupan bersama, adalah mengikat seluruh elemen bangsa.
2. Pendirian NKRI adalah upaya final bangsa Indonesia untuk mendirikan
negara di wilayah ini.
3. Wilayah NKRI dihuni oleh penduduk yang sebagian besar beragama Islam,
maka umat Islam wajib memelihara keutuhan NKRI dan menjaga dari segala bentuk
pengkhianatan terhadap kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) oleh
siapapun dengan alasan apapun.
4. Dalam rangka menghindarkan adanya pengkhianatan dan/atau pemisahan
diri (separatisme) negara wajib melakukan upaya-upaya nyata untuk menciptakan
rasa adil dan aman.
5. Bahwa umat Islam
memerlukan penyamaan manhaj al fikr dan penyatuan langkan gerakan (harakah)
agar keikutsertaan umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat
memberikan andil yang maknawi dalam menciptakan kebersamaan perjuangan menuju
masyarakat yang berkeadilan dan diridlai oleh Allah SWT sejahtera secara merata
serta penyadaran terhadap elemen-elemen yang cenderung melakukan tindakan pengkhianatan
dan/atau separatisme.
6. Upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia dan
pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah,
dalam pandangan Islam termasuk bughat. Sedangkan bughat adalah
haram hukumnya dan wajib diperangi oleh negara.
7. Setiap orang, kelompok
masyarakat, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang melibatkan diri,
baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, dalam aktifitasnya yang
mengarah pada tindakan pemisahan diri (separatisme) dari NKRI adalah termasuk bughat.
MUI juga mengajukan gagasan
agar tidak ada benturan antara Islam dan kebangsaan. Hal ini ditempuh dengan
mengajukan pemahaman sebagai berkut :
a. Ajaran Islam sebagai ajaran yang bersumber dari wahyu adalah suatu
kebenaran mutlak yang mengandung tuntunan kebajikan yang bersifat universal dan
meliputi seluruh aspek kehidupan.
b. Ajaran Islam sebagai tuntunan yang
bersifat universal, memandang dan menempatkan manusia dalam harkat martabat
yang sangat mulia. Oleh karena itu Islam menjunjung tinggi nilai-nilai yang
memuliakan hak-hak dasar kemanusiaan yang luhur seperti kemerdekaan (al-hurriyah),
persamaan (al-musawah), keadilan (al-’adalah/al-qisth), dan
kedamaian (al-silm).
c. Nilai-nilai yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi yang
sesuai dengan ajaran Islam dan membawa kabajikan dapat diterima sebagai nilai
universal Islam, karena Islam menganggap setiap kebaikan yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam dapat diterima sebagai sebuah kebajikan.
d. Nilai-nilai yang dibawa arus modernisasi dan globalisasi yang
bertentangan dengan ajaran Islam dan mendatangkan kerusakan (mafsadat)
bagi kehidupan harus ditolak.
e. Di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama harus dijadikan
sebagai sumber inspirasi dan kaedah penuntun, sehingga tidak terjadi benturan
antara kerangka berpikir keagamaan dan kerangka berpikir kebangsaan.
VII.
PENUTUP
Untuk menciptakan pemikiran
dan gerakan Islam yang harmoni dengan kebangsaan dan menghindari konflik antar
sesama anak bangsa, ada bebera cara yang perlu diperhatikan. MUI menyatakan :
1. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan umat Islam merupakan
suatu yang wajar, sebagai konsekwensi dari pranata “ijtihad” yang memungkinkan
terjadinya perbedaan.
2. Sikap yang merasa hanya pendapatnya sendiri yang paling benar serta
cenderung menyalahkan pendapat lain dan menolak dialog, merupakan sikap yang
bertentangan dengan prinsip toleransi (al-tasamuh) dan sikap tersebut
merupakan ananiyyah (egoisme) dan ‘ashabiyyah hizbiyyah (fanatisme
kelompok) yang berpotensi mengakibatkan saling permusuhan (al-’adawah),
pertentangan (al-tanazu’), dan perpecahan (al-insyiqaq).
3. Dimungkinkannya perbedaan pendapat di kalangan umat Islam harus
tidak diartikan sebagai kebebasan tanpa batas (bila hudud wa bila dlawabith).
4. Perbedaan yang dapat ditoleransi adalah perbedaan yang berada di
dalam majal al-ikhtilaf (wilayah perbedaan). Sedangkan perbedaan
yang berada di luar majal al-ikhtilaf tidak dikategorikan sebagai
perbedaan, melainkan sebagai penyimpangan; seperti munculnya perbedaan terhadap
masalah yang sudah jelas pasti (ma’lum min al-din bi aldlarurah).
5. Dalam menyikapi masalah-masalah perbedaan yang masuk dalam majal
al-ikhtilaf sebaiknya diupayakan dengan jalan mencari titik temu untuk keluar
dari perbedaan (al-khuruj min al-khilaf) dan semaksimal mungkin
menemukan persamaan.
6. Majal al-ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih
berada dalam koridor ma ana alaihi wa ashhaby, yaitu faham keagamaan
ahlus-sunnah wal jamaah dalam pengertian yang luas.
Wynn Hotel Casino And Spa in Las Vegas - MapYRO
BalasHapusWynn Hotel Casino And Spa is the 시흥 출장마사지 resort's official property. The 5,000-square-foot 속초 출장안마 casino features more 나주 출장안마 than 2,500 slots, 원주 출장샵 38 table games and a 동해 출장샵 full-service spa.